NAMA :
MUH KHAKKUL ULYA
NIM :
1530110095
Mata Kuliah
: Sosiologi Tafsir
JURUSAN : USHULUDDIN (IQT/3C)
UKHUWAH
A. Pendahuluan
Islam sebagai agama Allah datang guna mengatur manusia
sebagai seorang hamba dan sebagai kelompok sosial. Karena itulah tuntunan
al-Qurân tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja (hablum min
Allah) akan tetapi al-Qurân juga mengatur hubungan manusia dengan manusia (hablum
mina an-annas) yang sedikit banyak telah mengatur hubugan dan perilaku
dengan sesama makhluk tuhan seperti hubungan dengan saudara, tetangga yang
muslim ataupun yang bukan muslim dan perilaku manusia sebagai khalifah di bumi.
Salah satu aturan Islam dalam al-Qur’an yang membahas
tentang hubungan manusia dengan manusia adalah konsep ukhuwah atau
persaudaraan. Begitu pentingnya ini sehingga kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal sendiri termaktub dalam al-Qur’an sebanyak
52 kali. Menurut Ibnu Khaldun sendiri, sebuah organisasi kemasyarakatan merupakan suatu kemestian bagi
manusia. Tanpa itu, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial tidak akan
sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadiakan manusia sebagai khalifah-Nya
dimuka bumi ini untuk memakmurkannya.
Di dalam al-Qur’an, manusia
diberi mandat oleh Allah untuk menjadi khalifah di bumi, yang pada umummya
sebagai khalifah memiliki karakter kuat gagah, hebat, dan juga kesatria. Akan
tetapi dinyatakan juga di dalam al-Qur’an bahwa manusia adalah makhluk yang
lemah (wa khuliqol insanu dzo’ifa), oleh karenanya untuk menutupi sifat
dza’if itu, manusia di rasa perlu dan bahkan harus membentuk persaudaraan yang
mana dapat memikul bersama tugas manusia sebagai khalifah.
B. Pembahasan
Ukhuwah biasa
di artikan sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar kata yang mulanya berarti
“memperhatikan”. Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan
adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.
Masyarakat
muslim mengenal istilah ukhuwah islamiyah. Istilah ini perlu didudukan
maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk
itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan
kedudukan kata islamiah dalam istilah diatas. Selama ini ada kesan bahwa
istilah tersebut bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama Muslim”, atau
dengan kata lain, “persaudaraan antar sesama Muslim”, sehingga dengan demikian,
kata “Islamiah” dijadikan pelaku ukhuwah itu.
Pemahaman ini
kurang tepat. Kata islamiah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat
dipahami sebagai adjektifa, sehingga ukhuwah islamiah berarti “persaudaraan
yang bersifat islami atau yang diajarkan oleh islam”.[1] Di sini saya akan
menjelaskan hubungan surat al- Hujurat
ayat: 10 dengan teori yang saya ambil yaitu, teorinya Ibnu Khaldun yang ashabiyyah yang artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah (bagaikan) bersaudara karena itu damaikanlah antara
kedua saudara kamu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu dapat rahmat.”
Kata (إنّما) innama
digunakan untuk membatasi sesuatu. Di sini, kaum beriman dibatasi hakikat
hubungan mereka dengan persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan
hubungan antar mereka kecuali persaudaraan itu, kata innama bisa
digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang telah diterima sebagai suatu hal
yang demikian itu adanya dan telah diketahui oleh semua pihak secara baik.
Penggunaan kata innama dalam konteks penjelasan tentang persaudaraan
antara sesama mukmin ini mengisyaratkan bahwa kaum beriman bersaudara
sehingga semestinya tidak terjadi daripihak mana pun hal-hal yang mengganggu
persaudaraan itu.
Kata (أخ) akh yang
berbentuk tunggal itu biasa juga dijamak dengan kata (إخوان) ikhwan. Bentuk jamak ini biasanya
menunjuk kepada persaudaraan yang tidak sekandung. Berbeda dengan kata (إخوة) ikhwah yang hanya terulang tujuh
kali dalam al-Qur’an, kesemuanya digunakan untuk menunjuk persaudaraan
keturunan, kecuali ayat al-Hujurat di atas. Hal ini agaknya untuk
mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama muslim adalah
persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan iman dan kali
kedua ini bukan dalam pengertian hakiki. Dengan demkian, tidak ada alasan untuk
merumuskan hubungan persaudaraan sebangsa, secita-cita, sebahasa, senasib, dan
sepenanggung.
Thabathaba’i
menulis bahwa hendaknya kita menyadari bahwa firman-Nya: “Sesungguhnya
orang-orang mukmin bersaudara” merupakan ketetapan syariat berkaitan dengan
persaudaraan antara orang-orang mukmin dan yang mengakibatkan dampak keagamaan
serta hak-hak yang ditetapkan agama.[2]
Innamal
mu’minuna ikhwatun, maksudnya semua mukmin di pertemukan pada pokok yang sama yaitu keimanan,
yang mana akan mengantarkan kepada sa’adah abadiyah, bahkan persaudaraan atas
nama agama di jadikan sama seperti halnya persaudaraan nasab, seakan-akan islam
adalah sesosok ayah bagi mereka (umat islam).[3]
Lalu bagaimana
jika terjadi permusuhan atau bahkan terjadi peperangan antara sesama muslim?,
hal ini secara langsung di jawab pada lanjutan ayat “fa ashlihu baina
akhawaikum” maka damaikan antara kedua saudara kamu. Maksudnya berusaha
dalam mendamaikan dua orang muslim yang bermusuhan adalah sebuah kewajiban bagi
setiap muslim lain bila mana ia mampu melakukannya, yang bila di tinggalkan
adalah dosa serta menciderai nilai-nilai kemanusiaan.[4]
Sebagaimana Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqoddimat, sebuah organisasi kemasyarakatan merupakan suatu kemestian bagi
manusia. Tanpa itu, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial tidak akan
sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadiakan manusia sebagai khalifah-Nya
dimuka bumi ini untuk memakmurkannya, Oleh karena itu para filusuf dan sosiolog
berpendapat bahwa manusia menurut tabiatnya adalah makhluk sosial atau makhluk
politik yang suka berkumpul dan bekerja sama yang memerlukan pengorganisasian.[5]
Ibnu Khaldun sendiri menganggap ashabiyah sebagai suatu kekuatan dan pengaruh didasarkan atas kesamaan. Kesamaan itu tidak
hanya kesamaan yang didasarkan atas ikatan
darah, tetapi juga didasarkan atas pengetahuan yang lebih luas tentang
persaudaraan yang mana memunculkan perasaan cinta terhadap saudara dan
kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak kekerasan. Semakin
dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka, maka ikatan-ikatan
dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya, semakin renggang hubungan
tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin melemah.
Ashabiyah akan muncul dan berkembang ketika
perasaan untuk melindugi diri serta membangkitkan sense of Kindship (rasa
kekeluargaan) yang kuat dan mendorong manusia untuk menciptakan hubungan antara
yang satu dengan yang lain. Hal ini adalah kekuatan vital bagi suatu negara di mana
dengannya mereka akan tumbuh dan berkembang dan melemah, maka mereka akan mengalami kemunduran. Ibnu
Khaldun juga mengembangkan suatu
solidaritas yang tanpa agama negara tidak akan bisa eksis. Agama merupakan
pendukung ashabiyah dan pada dasarnya juga memperkuat ashabiyah, dengan
kekuatan religius ini bangsa arab dapat membangun suatu peradaban yang besar.
Dalam hubungan
ashabiyah dan
agama, menurut Khaldun
terdapat dampak timbal balik diantara
keduanya. Lebih lanjut,
Khaldun berupaya untuk mengkompromikan antara
prinsip ashabiyah dan
prinsip Islam. Menurutnya, ashabiyah yang dilarang adalah
ashabiyah yang berkembang pada zaman jahiliyah yang timbul dari
kesombongan dan keinginan
untuk bergabung pada
suku-suku yang terkuat dan
terhormat. Sedangkan ashabiyah
yang didasarkan atas
faktor-faktor keagamaan dan faktor duniawi yang legal, maka diperbolehkan.[6]
Sebagaimana pula ibnu Khaldun dalam bukunya Muqoddimat mengatakan “sebuah
organisasi kemasyarakatan merupakan
suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu, eksistensi manusia sebagai makhluk
sosial tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan manusia
sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini untuk memakmurkannya”. Maqolah Ibnu Khaldun
ini juga akan singkron dengan penafsiran dari Quraish Shihab bahwa kata (إنّما) innama dalam ayat yang telah
disebutkan di awal, bahwa kalimat innama memiliki fungsi hasr yang
digunakan untuk membatasi sesuatu. maksudnya kaum beriman dibatasi hakikat
hubungan mereka dengan persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan
hubungan antar mereka kecuali persaudaraan itu.
C. Penutup
Masyarakat
muslim mengenal istilah ukhuwah islamiyah. Istilah ini perlu didudukan
maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk
itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan
kedudukan kata islamiah dalam istilah diatas. Selama ini ada kesan bahwa
istilah tersebut bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama Muslim”, atau
dengan kata lain, “persaudaraan antar sesama Muslim”, sehingga dengan demikian,
kata “Islamiah” dijadikan pelaku ukhuwah itu.
Sedangkan Ibnu Khaldun sendiri menganggap ashabiyah
sebagai suatu kekuatan dan pengaruh didasarkan atas kesamaan. Kesamaan itu tidak hanya kesamaan yang didasarkan atas ikatan darah, tetapi juga didasarkan atas pengetahuan yang
lebih luas tentang persaudaraan yang mana memunculkan perasaan cinta terhadap
saudara dan kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak
kekerasan. Semakin dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka,
maka ikatan-ikatan dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya,
semakin renggang hubungan tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin
melemah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullatif, Muhamad.Audzotuttafasir. Juz 1.Maktabah
Syamilah.
Al-Khudori, Zainal. 1995. Perkembangan Pemikiran
Filsafat Sejarah Ibn Khaldun.Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-Maraghi, Ahmad. Tafsir Al Maraghi. Maktabah
Syamilah.
Ba’ali, Fuad. 1989, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Shihab, M. Quarish. 1996. Wawasan
Al-Qur’an:Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan
Anggota IKAPI.
Suyuthi, J. 1994. Prinsip-Prinsip
Pemerintah dalam Piagam madinah ditinjau dari Pandangan al-Qur’an, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-bin/content.cgi/artikel/teologi_politik-
konsep_negara_dalam_quran.mobile di akses pada tanggal 23 november 2016, jam 12:19.
[1]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm. 486-487.
[2] Ibid, hlm. 496-498.
[3]Ahmad bin Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al Maraghi, Maktabah Syamilah.
[4]Muhamad Abdullatif bin Khatib, Audzotuttafasir, Maktabah syamilah, juz 1, hlm. 634.
[5]http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-bin/content.cgi/artikel/teologi_politik-konsep_negara_dalam_quran.mobile di akses pada tanggal 23 november 2016, jam 12:19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar