Jumat, 09 Desember 2016
ukhuwah
NAMA :
MUH KHAKKUL ULYA
NIM :
1530110095
Mata Kuliah
: Sosiologi Tafsir
JURUSAN : USHULUDDIN (IQT/3C)
UKHUWAH
A. Pendahuluan
Islam sebagai agama Allah datang guna mengatur manusia
sebagai seorang hamba dan sebagai kelompok sosial. Karena itulah tuntunan
al-Qurân tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja (hablum min
Allah) akan tetapi al-Qurân juga mengatur hubungan manusia dengan manusia (hablum
mina an-annas) yang sedikit banyak telah mengatur hubugan dan perilaku
dengan sesama makhluk tuhan seperti hubungan dengan saudara, tetangga yang
muslim ataupun yang bukan muslim dan perilaku manusia sebagai khalifah di bumi.
Salah satu aturan Islam dalam al-Qur’an yang membahas
tentang hubungan manusia dengan manusia adalah konsep ukhuwah atau
persaudaraan. Begitu pentingnya ini sehingga kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal sendiri termaktub dalam al-Qur’an sebanyak
52 kali. Menurut Ibnu Khaldun sendiri, sebuah organisasi kemasyarakatan merupakan suatu kemestian bagi
manusia. Tanpa itu, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial tidak akan
sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadiakan manusia sebagai khalifah-Nya
dimuka bumi ini untuk memakmurkannya.
Di dalam al-Qur’an, manusia
diberi mandat oleh Allah untuk menjadi khalifah di bumi, yang pada umummya
sebagai khalifah memiliki karakter kuat gagah, hebat, dan juga kesatria. Akan
tetapi dinyatakan juga di dalam al-Qur’an bahwa manusia adalah makhluk yang
lemah (wa khuliqol insanu dzo’ifa), oleh karenanya untuk menutupi sifat
dza’if itu, manusia di rasa perlu dan bahkan harus membentuk persaudaraan yang
mana dapat memikul bersama tugas manusia sebagai khalifah.
B. Pembahasan
Ukhuwah biasa
di artikan sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar kata yang mulanya berarti
“memperhatikan”. Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan
adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.
Masyarakat
muslim mengenal istilah ukhuwah islamiyah. Istilah ini perlu didudukan
maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk
itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan
kedudukan kata islamiah dalam istilah diatas. Selama ini ada kesan bahwa
istilah tersebut bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama Muslim”, atau
dengan kata lain, “persaudaraan antar sesama Muslim”, sehingga dengan demikian,
kata “Islamiah” dijadikan pelaku ukhuwah itu.
Pemahaman ini
kurang tepat. Kata islamiah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat
dipahami sebagai adjektifa, sehingga ukhuwah islamiah berarti “persaudaraan
yang bersifat islami atau yang diajarkan oleh islam”.[1] Di sini saya akan
menjelaskan hubungan surat al- Hujurat
ayat: 10 dengan teori yang saya ambil yaitu, teorinya Ibnu Khaldun yang ashabiyyah yang artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah (bagaikan) bersaudara karena itu damaikanlah antara
kedua saudara kamu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu dapat rahmat.”
Kata (إنّما) innama
digunakan untuk membatasi sesuatu. Di sini, kaum beriman dibatasi hakikat
hubungan mereka dengan persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan
hubungan antar mereka kecuali persaudaraan itu, kata innama bisa
digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang telah diterima sebagai suatu hal
yang demikian itu adanya dan telah diketahui oleh semua pihak secara baik.
Penggunaan kata innama dalam konteks penjelasan tentang persaudaraan
antara sesama mukmin ini mengisyaratkan bahwa kaum beriman bersaudara
sehingga semestinya tidak terjadi daripihak mana pun hal-hal yang mengganggu
persaudaraan itu.
Kata (أخ) akh yang
berbentuk tunggal itu biasa juga dijamak dengan kata (إخوان) ikhwan. Bentuk jamak ini biasanya
menunjuk kepada persaudaraan yang tidak sekandung. Berbeda dengan kata (إخوة) ikhwah yang hanya terulang tujuh
kali dalam al-Qur’an, kesemuanya digunakan untuk menunjuk persaudaraan
keturunan, kecuali ayat al-Hujurat di atas. Hal ini agaknya untuk
mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama muslim adalah
persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan iman dan kali
kedua ini bukan dalam pengertian hakiki. Dengan demkian, tidak ada alasan untuk
merumuskan hubungan persaudaraan sebangsa, secita-cita, sebahasa, senasib, dan
sepenanggung.
Thabathaba’i
menulis bahwa hendaknya kita menyadari bahwa firman-Nya: “Sesungguhnya
orang-orang mukmin bersaudara” merupakan ketetapan syariat berkaitan dengan
persaudaraan antara orang-orang mukmin dan yang mengakibatkan dampak keagamaan
serta hak-hak yang ditetapkan agama.[2]
Innamal
mu’minuna ikhwatun, maksudnya semua mukmin di pertemukan pada pokok yang sama yaitu keimanan,
yang mana akan mengantarkan kepada sa’adah abadiyah, bahkan persaudaraan atas
nama agama di jadikan sama seperti halnya persaudaraan nasab, seakan-akan islam
adalah sesosok ayah bagi mereka (umat islam).[3]
Lalu bagaimana
jika terjadi permusuhan atau bahkan terjadi peperangan antara sesama muslim?,
hal ini secara langsung di jawab pada lanjutan ayat “fa ashlihu baina
akhawaikum” maka damaikan antara kedua saudara kamu. Maksudnya berusaha
dalam mendamaikan dua orang muslim yang bermusuhan adalah sebuah kewajiban bagi
setiap muslim lain bila mana ia mampu melakukannya, yang bila di tinggalkan
adalah dosa serta menciderai nilai-nilai kemanusiaan.[4]
Sebagaimana Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqoddimat, sebuah organisasi kemasyarakatan merupakan suatu kemestian bagi
manusia. Tanpa itu, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial tidak akan
sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadiakan manusia sebagai khalifah-Nya
dimuka bumi ini untuk memakmurkannya, Oleh karena itu para filusuf dan sosiolog
berpendapat bahwa manusia menurut tabiatnya adalah makhluk sosial atau makhluk
politik yang suka berkumpul dan bekerja sama yang memerlukan pengorganisasian.[5]
Ibnu Khaldun sendiri menganggap ashabiyah sebagai suatu kekuatan dan pengaruh didasarkan atas kesamaan. Kesamaan itu tidak
hanya kesamaan yang didasarkan atas ikatan
darah, tetapi juga didasarkan atas pengetahuan yang lebih luas tentang
persaudaraan yang mana memunculkan perasaan cinta terhadap saudara dan
kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak kekerasan. Semakin
dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka, maka ikatan-ikatan
dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya, semakin renggang hubungan
tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin melemah.
Ashabiyah akan muncul dan berkembang ketika
perasaan untuk melindugi diri serta membangkitkan sense of Kindship (rasa
kekeluargaan) yang kuat dan mendorong manusia untuk menciptakan hubungan antara
yang satu dengan yang lain. Hal ini adalah kekuatan vital bagi suatu negara di mana
dengannya mereka akan tumbuh dan berkembang dan melemah, maka mereka akan mengalami kemunduran. Ibnu
Khaldun juga mengembangkan suatu
solidaritas yang tanpa agama negara tidak akan bisa eksis. Agama merupakan
pendukung ashabiyah dan pada dasarnya juga memperkuat ashabiyah, dengan
kekuatan religius ini bangsa arab dapat membangun suatu peradaban yang besar.
Dalam hubungan
ashabiyah dan
agama, menurut Khaldun
terdapat dampak timbal balik diantara
keduanya. Lebih lanjut,
Khaldun berupaya untuk mengkompromikan antara
prinsip ashabiyah dan
prinsip Islam. Menurutnya, ashabiyah yang dilarang adalah
ashabiyah yang berkembang pada zaman jahiliyah yang timbul dari
kesombongan dan keinginan
untuk bergabung pada
suku-suku yang terkuat dan
terhormat. Sedangkan ashabiyah
yang didasarkan atas
faktor-faktor keagamaan dan faktor duniawi yang legal, maka diperbolehkan.[6]
Sebagaimana pula ibnu Khaldun dalam bukunya Muqoddimat mengatakan “sebuah
organisasi kemasyarakatan merupakan
suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu, eksistensi manusia sebagai makhluk
sosial tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan manusia
sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini untuk memakmurkannya”. Maqolah Ibnu Khaldun
ini juga akan singkron dengan penafsiran dari Quraish Shihab bahwa kata (إنّما) innama dalam ayat yang telah
disebutkan di awal, bahwa kalimat innama memiliki fungsi hasr yang
digunakan untuk membatasi sesuatu. maksudnya kaum beriman dibatasi hakikat
hubungan mereka dengan persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan
hubungan antar mereka kecuali persaudaraan itu.
C. Penutup
Masyarakat
muslim mengenal istilah ukhuwah islamiyah. Istilah ini perlu didudukan
maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk
itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan
kedudukan kata islamiah dalam istilah diatas. Selama ini ada kesan bahwa
istilah tersebut bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama Muslim”, atau
dengan kata lain, “persaudaraan antar sesama Muslim”, sehingga dengan demikian,
kata “Islamiah” dijadikan pelaku ukhuwah itu.
Sedangkan Ibnu Khaldun sendiri menganggap ashabiyah
sebagai suatu kekuatan dan pengaruh didasarkan atas kesamaan. Kesamaan itu tidak hanya kesamaan yang didasarkan atas ikatan darah, tetapi juga didasarkan atas pengetahuan yang
lebih luas tentang persaudaraan yang mana memunculkan perasaan cinta terhadap
saudara dan kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak
kekerasan. Semakin dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka,
maka ikatan-ikatan dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya,
semakin renggang hubungan tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin
melemah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullatif, Muhamad.Audzotuttafasir. Juz 1.Maktabah
Syamilah.
Al-Khudori, Zainal. 1995. Perkembangan Pemikiran
Filsafat Sejarah Ibn Khaldun.Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-Maraghi, Ahmad. Tafsir Al Maraghi. Maktabah
Syamilah.
Ba’ali, Fuad. 1989, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Shihab, M. Quarish. 1996. Wawasan
Al-Qur’an:Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan
Anggota IKAPI.
Suyuthi, J. 1994. Prinsip-Prinsip
Pemerintah dalam Piagam madinah ditinjau dari Pandangan al-Qur’an, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-bin/content.cgi/artikel/teologi_politik-
konsep_negara_dalam_quran.mobile di akses pada tanggal 23 november 2016, jam 12:19.
[1]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm. 486-487.
[2] Ibid, hlm. 496-498.
[3]Ahmad bin Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al Maraghi, Maktabah Syamilah.
[4]Muhamad Abdullatif bin Khatib, Audzotuttafasir, Maktabah syamilah, juz 1, hlm. 634.
[5]http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-bin/content.cgi/artikel/teologi_politik-konsep_negara_dalam_quran.mobile di akses pada tanggal 23 november 2016, jam 12:19.
Selasa, 06 Desember 2016
Penelitian upacara tradisi Meron
TUGAS
PENELITIAN
PENELITIAN TRADISI “MERON” DI DESA SUKOLILO KABUPATEN PATI
Muh Khakkul Ulya (1530110095)
InsideJarwo08blogspot.com
Jurusan Ushuluddin Prodi Ilmu Qur’an Tafsir, STAIN Kudus, 2016
ABSTRAK
Tadisi meron di sukolilo
merupakan budaya bangsa yang unik dan spesifik. Nilai-nilai dan makna
terkandung di dalamnya, memiliki relevansi dengan kehidupan masyarakat. Tradisi
meron saat ini tengah mengalami
perubahan dan pergeseran nilai-nilai sehingga di khawatirkan akan mengalami
kepunahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Lokasi
penelitian ini berada di Desa Sukolilo Kabupaten Pati. Sasaran penelitian
adalah upacara tradisi meron. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Keabsahan data menggunakan cross-recheck dan
analisis data menggunakan pendekatan interaktif, hasil penelitian ini adalah :
(1) upacara meron di Desa Sukolilo di lihat dari bentuk fisik maupun
serimonialnya memiliki fungsi manifes dan Laten. (2) nilai-nilai yang
terkandung dalam upacara tradisi meron yaitu nilai historis, sosial, religius,
paedagois, dan nilai estetis. (3) perubahan nilai-nilai dalam upacara tradisi
meron terjadi karena adanya globalisasi dan modernisasi, tetapi esensi bentuk
dan prosesinya tetap di pertahankan keasliannya hanya acara-acara tambahan
seperti : keramaian atau hiburan, perayaan pasar malm mengalami perubahan. (4)
keberadaan upacara meron sangat relevan dengan kehidupan masyarakat karena
terinkulturasi dan menjadi bagian masyarakat yang tidak terpisahkan. Keberadaan
upacara meron mampu menjadi pendorong
meningkatkan pembangunan kehidupan masyarakat di berbagai bidang yaitu : edeologi,
politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan pertahanan keamanan[1]
Kata
Kunci , Upacara
Tradisi, Meron, Nilai nilai
PENDAHULUAN
Tadisi meron mirip dengan Grebeg Maulid (Sekatenan) yang ada di Keraton
Yogyakarta maupun keraton di Surakarta. Tradisi meron diadakan setiap tanggal12
Rabi’ul Awal, bertepatan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada
kelahiran Nabi Muhammad SAW ini, dibacakan riwayat hidup Nabi di masjid-masjid
dan sebagian besar di rumah penduduk. Selain itu, diadakan pula santapan
keagamaan (makan nasi kenduri/rasulan) yang berupa nasi tumpeng beserta lauk
pauknya untuk menjamu teman teman atau tokoh-tokoh Agama.
Upacara tradisi meron, mengenal tiga perayaan yang di langsungkan, yaitu
keramaian meron (pasar malam), pembuatan meron dan prosesi upacara meron,
berikut beberapa foto yang saya ambil :
Gambar ini adalah suatu kreasi dari
masyarakat Sukolilo yang berisi seperti: bunga, janur dan lain-lain, kreasi ini
di siapkan untuk acara upacara pemberangkatan meron.
Pementasan seni tradisional berakar kuat dari kehidupan masyarakatnya
dan hidup secara mentradisi atau turun temurun. Ekspresi seni yang ditunjukkan dalam
upacara tradisi dijadikan sebagai pendidikan seni keagamaan, yang memiliki
makna teologis dalam arti berkaitan dengan sistem pemujaan. Hakikat pemujaan, baik
pada leluhur maupun kepada Ida
Sanghyang
Widhi. Makna kesuburan artinya pementasan itu memiliki dimensi untuk memohon
kesuburan, kesejahteraan, kedamaian kepada Tuhan. Ini sebagai ekspresi ritualistik
pada masyarakat agraris. Makna lingkungan sosial artinya secara sosiologis
upacara tradisi ini merupakan refleksi pemeliharaan hubungan manusia sesama manusia,
lingkungan, dan Tuhan.
Kemudian ini adalah gambar Leang-Leong,
ini adalah kesenian yang diadakan sebelum acara meron, tepatnya pada malam hari
menjelang hari upacara meron. Kesenian yang dipentaskan tersebut dijadikan
sebagai alat untuk wejangan
(pembinaan) kepada perangkat desa yang telah berkumpul.
METODE
PENELITIAN
Pendekatan
dalam penelitian adalah kualitatif, Lokasi dalam penelitian ini di Desa
Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Sumber data dalam penelitian ini
terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Teknik Pengumpulan Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah: Wawancara mendalam (in-depth
interviewing), Observasi langsung dengan partisipasi pasif, Mencatat
dokumen (content analysis), Focus Group Discussion (diskusi kelompok
terarah). Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data yang digunakan untuk menguji validitas
data dalam penelitian ini adalah triangulasi data (sumber), Sutopo (2006 : 92).
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model
analisis interaktif Miles dan Huberman (2000: 20), yang meliputi: Pengumpulan
data, Reduksi data, penyajian data, simpulan-simpulan : penarikan simpulan/
verifikasi.
HASIL
PENELITIAN
Bentuk upacara tradisi Meron di Desa Sukolilo
upacara Tradisi Meron di
Desa Sukolilo Kabupaten Pati termasuk tradisi upacara yang unik spesifik,
karena desa-desa lain tidak memiliki tradisi semacam ini. Keunikan tradisi Meron terlihat dari bentuk Gunung anyang sangat eksotisme,
prosesi upacaranya yang khidmat dan ramainya upacara tradisional. Meron terdiri
dari berbagai bagian, dan masing masing bagian ornamennya berbeda-beda karena
dilengkapi dengan berbagai uborampe yang
di dalamnya mengandung arti yang bermakn akan filosofis. Bentuk Meron dapat dibagi menjadi dua yaitu
bentuk secara fisik dan prosesi. Bentuk secara fisik terdiri dari: Uborampe yang digunakan dalam
pembuatan Meronter diri dari
makanan, bunga-bungaan, kertas, janur dan juwadah (Once, Ampyang/Krecek,
Cucur) aneka bunga yang
dibentuk dalam karangan bunga, Ancak, Hiasan
Meron, dan Mustoko. Berikut adalah beberapa foto yang saya ambil :
Kegiatan prosesi tradisi Meron dapat diilustrasikan sebagai
berikut : Persiapan pelaksanaan upacara tradisi Meron meliputi: pembentukan
panitia, penentuan waktu dan acara, berziarah ke makam Tumenggung Cinde Among,
tirakatan. Tahap Pelaksanaan (Prosesi) meliputi: pemberangkatan Meron, prosesi
perayaan Meron dengan acara: pembukaan dilaksanakan oleh pembawa acara dengan
bacaan surat Al Fatehah atau basmalah, pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an, pembacaan
selayang pandang riwayat Meron, sambutan-sambutan dari : ketua panitia, unsur Muspika,
Bupati Pati, Penutup / do’a dan Pembagian berkat selamatan. Pasca prosesi Meronan
kegiatannya pembagian kenduri, pemulangan kembali meron, tirakatan dan diakhiri
pembagian ampyang, kepada lingkungan sekitar perangkat desa yang
memiliki Meron sebagai imbalan atas pemberian bantuan mulai dari persiapan,
prosesi dan pasca prosesi agar mendapatkan berkah keselamatan dan
kesejahteraan.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam upacara tradisi Meron di Desa Sukolilo Kabupaten
Pati
Nilai-nilai
yang terkandung dalam upacara tradisi Meron yaitu nilai religius, paedagogis,
aestetis, simbolis, sosial, dan ekonomis. Nilai religius berkaitan dengan nilai-nilai
ritual keagamaan, nilai paedagogis menyangkut nilai pendidikan, dan nilai aestetis
menyangkut keindahan yang dikaitkan dengan seni, kreasi dan hiburan rakyat. Nilai
religius yang ditanamkan kepada masyarakat Desa Sukolilo yaitu peringatan
Maulid Nabi Besar Muhammad SAW sebagai nabi akhirus zaman bagi umat Islam,
sehingga umat Islam di desa Sukolilo memiliki kewajiban untuk memperingatinya dengan
cara mengadakan upacara tradisi Meron sebagai bentuk wujud Syukur kepada
Allah SWT. Nilai paedagogis yang hendak ditanamkan yaitu nilai historis/sejarah
untuk hanguri-uri (melestarikan adat tradisi turun temurun dari nenek
moyang) agar tidak punah. Nilai estetis yang hendak ditanamkan yaitu nilai
keindahan yang ada pada bentuk Meron yang dibuat karena dapat
mencerminkan pribadi dari pemilik Meron, sehingga dalam membuat Meron diupayakan
untuk teliti dan estetis/indah. Selain keindahan bentuk Meron,
acara keramaian diwujudkan dalam bentuk kreasi seni hiburan yang ditampilkan
oleh masyarakat dalam upacara tradisi Meron.
Nilai simbolis yang hendak
disampaikan dalam selamatan untuk memohonkan agar masyarakat hidupnya dalam
keadaan selamat dan mendapatkan berkah rejeki melimpah serta kehidupan yang
tentram dan sejahtera. Nilai sosial tradisi Meron yaitu membangun
kesadaran sosial adanya semangat kegotong-royongan. Nilai ekonomis tradisi
Meron dapat dijadikan sebagai event promosi pariwisata ritual yang dapat
mendorong masyarakat, agar dapat mengemas suatu acara yang lebih meriah,
menarik dan sebagai sarana hiburan. Aktualisasi dari etika upacara tradisi Meron
di Desa Sukolilo diwujudkan dalam bentuk: 1) transfer nilai-nilai
kebudayaan terhadap generasi ke generasi berikutnya sehingga nilai-nilai
kebudayaan senantiasa berkelanjutan dari waktu ke waktu; 2) tradisi upacara
Meron dijadikan sebagai warisan budaya yang dapat meningkatkan harkat dan martabat
masyarakat serta indentitas desa Sukolilo; 3) upacara tradisi Meron dijadikan
sebagai sikap jujur dan bertanggung jawab terhadap setiap perubahan nilai,
aktivitas bersosial dan bermasyarakat serta produk kebudayaan yang dihasilkan dari
upacara tradisi Meron; 4) pelestarian upacara tradisi Meron. Dengan
demikian, etika dalam upacara tradisi Meron sangat penting karena dapat menumbuhkan
kesadaran dari masyarakat Desa Sukolilo dalam menghormati hasil karya lelulurnya
sehingga terjadi kesinambungan antar generasi.
Perubahan nilai-nilai dalam upacara tradisi Meron di Desa Sukolilo
Kabupaten
Pati
Dalam
pelaksanaan upacara tradisi Meron di Desa Sukolilo mengalami perubahan dari
waktu ke waktu, tetapi dalam esensi prosesi ritual, hari pelaksanaan, uborampe
dan bentuk Meron tidak mengalami perubahan. Perubahan terjadi pada acara tambahan
seperti pawai, hiburan dan pasar malam. Perubahan nilai-nilai dalam upacara tradisional
Meron dipengaruhi oleh adanya perubahan zaman dan budaya global yang modern.
Perubahan dalam upacara tradisi Meron terjadi karena mengikuti perubahan
jaman, seperti dalam uborampe yang disediakan oleh warga masyarakat pada
saat upacara tradisi Meron. Dulu di setiap rumah membuat Ampyang dan
Once. Ampyang dan Once ini diikat di sebuah bambu yang berbentuk sambitan
yang diletakkan di gedeg, disela-sela gebyog atau diikatkan
pada pintu rumah. Ampyang dan once itu dilepas setelah prosesi
upacara tradisi Meron dilaksanakan. Tradisi masyarakat untuk membuat Ampyang
dan Once di rumah warga.
Relevansi
upacara tradisi Meron dengan kehidupan masyarakat di Desa Sukolilo
Kabupaten Pati
Relevansi upacara tradisi Meron menyangkut berbagai
kehidupan baik di bidang idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
dan keamanan. Dalam bidang idiologi, upacara tradisi Meron dijadikan sebagai
sarana untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dan syiar Islam,
bentuk rasa syukur kepada Allah atas lahirnya Nabi Muhammad SAW.
Bidang politik, upacara tradisi Meron dapat dijadikan sebagai sarana
untuk menyatukan antara aparat pemerintah desa, aparat pemerintah
kecamatan dari unsur muspika, pemerintah kabupaten, tokoh
masyarakat, tokoh agama, seniman, dan masyarakat lingkungan sekitar.
Bidang ekonomi, upacara tradisi Meron dijadikan sebagai
sarana untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, bukan hanya masyarakat
Desa Sukolilo tetapi masyarakat sekitar yang berjualan di arena
pasar malam perayaan Meron. Bidang sosial, upacara tradisi Meron
dapat meningkatkan kegiatan sosial masyarakat yaitu
bergotong-royong, bersedekah untuk iuran dalam pelaksanaan tradisi Meron.
Bidang budaya, tradisi Meron sebagai ajang masyarakat
berkreasi dibidang seni, terutama dalam seni hiburan rakyat.
Gambar ini merupakan akhir dari upacara
tradisi Meron, yaitu warga sedang
berdesak-desakan demi mendapatkan sekatennya.
PEMBAHASAN
Bentuk Meron dianalisis dengan teori Robert Merton. Teori
fungsi yang dimaksudkan
dalam
penelitian ini fungsi manifes (fungsi yang tampak) dan fungsi laten.
Fungsi manifes dari bentuk Meron di Sukolilo yaitu
fungsi estetis, sarana ritual, dan hiburan. Fungsi manifes estetis yang
direfleksikan oleh masyarakat Desa Sukolilo adalah seni rupa yang
berbentuk Meron dengan arsitektur yang arstistik dan eksotisme.
Fungsi manifes sarana ritual yang hendak disampaikan berkaitan
dengan bentuk fisik Meron sebagai sarana ritual yaitu berupa peralatan
dan perlengkapan upacara/ uborampe serta benda-benda ritual seperti
makanan, juwadah, sesaji, kenduri/ selamatan, ancak, jagoan, dan
mustoko. Peralatan dan perlengkapan serta uborampe tersebut
dijadikan sebagai media ritus yang dianggap memiliki daya magis. Fungsi
laten bentuk Meron di Sukolilo yaitu: fungsi historis, simbolis paedagogis,
dan akulturasi budaya. Meron berdasarkan prosesinya termasuk dalam
upacara Crautasutra (Srauta Karmani) sesaji besar dalam
lingkungan raja dan negara (Soekmono, 1995: 11). Meron karena meniru/mengadobsi
Skaten, maka analisis untuk prosesi tradisi Meron dikaitkan dengan upacara
tradisi Sekaten. Secara umum upacara merupakan salah satu unsur religi.
Unsur-unsur religi adalah sistem kayakinan, upacara keagamaan, suatu
umat yang menganut religi (Koentjaraningrat, 1990: 377). Fungsi
manifes yang terdapat pada prosesi tradisi Meron meliputi: kesiapan dari
berbagai elemen masyarakat untuk melaksanakan upacara tradisi Meron,
Solidaritas sosial masyarakat, Hubungan antara penguasa/ umaro’,
ulama, dan masyarakat, Ritual keagamaan, Cerita sejarah, Hiburan Masyarakat.
Fungsi laten (terselubung) yang ada pada upacara tradisi Meron meliputi:
Fungsi spiritual, Fungsi paedagogis.
SIMPULAN
DAN SARAN
Simpulan
Bentuk Meron baik secara fisik maupun prosesinya memiliki
fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes dari bentuk fisik Meron
yaitu fungsi estetis dan sarana ritual. Fungsi laten dari upacara tradisi
Meron meliputi: fungsi historis, simbolis paedagogis, dan fungsi akulturasi
budaya. Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara tradisi Meron di Desa
Sukolilo Kabupaten Pati mengandung nilai historis, sosial, religius,
paedagogis, dan nilai estetis. Nilai-nilai tersebut dijunjung tinggi oleh masyarakat
Desa Sukolilo dan perlu ditanamkan kepada generasi penerus agar dapat dijadikan
sebagai pegangan hidup dalam menjalani kehidupan sehari-hari di masyarakat. Perubahan
nilai-nilai dalam upacara tradisi Meron di Desa Sukolilo KabupatenPati
terjadi karena adanya arus globalisasi dan modernisasi. Walaupun terjadi
perubahan, masyarakat Desa Sukolilo harus berpegang pada sebuah prinsip dengan
esensi mana yang harus dipertahankan keasliannya (prosesi ritual, uborampe dan
bentuk meron). Sedangkan acara-acara tambahan seperti perayaan pasar
malam dan keramaian/ hiburan dapat dikembangkan dan dirubah sesuai dengan
keadaan, kondisi dan budaya masyarakat Desa Sukolilo. Upacara tradisi Meron sangat
relevan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan upacara tradisi Meron mampu
menjadi pendorong dalam meningkatkan pembangunan kehidupan masyarakat
diberbagai bidang yakni: idiologi, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan
pertahanan keamanan.
Saran
Diperlukan keterpaduan dan kesamaan langkah baik dari Pemerintah
Kabupaten, Dinas Pariwasata, Pemerintahan Desa Sukolilo dalam menangani tradisi
Meron sebagai aset budaya daerah dan aset wisata. Sehingga diharapkan, tradisi Meron
bukan hanya sebagai acara ritual seremonial saja melainkan dapat dijadikan
tontonan dan hiburan yang menarik bagi masyarakat. Masyarakat desa Sukolilo
hendaknya turut mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan tradisi Meron
sebagai bentuk dari manifestasi penghormatan terhadap leluhurnya, yang telah
mengadakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu juga dapat
dijadikan sebagai wahana untuk mendorong keimanan dan ketaqwaan masyarakat.
Para
pengunjung hendaknya turut menciptakan suasana yang kondusif dan ikut serta
menjaga keamanan dan ketertiban jalannya tradisi prosesi upacara Meron agar
upacara tersebut benar benar membawa berkah bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Zuhdi. 2003. Tradisi Meron di Desa Sukolilo. Sukolilo. TIM
Perayaan Meron.
Ani Rostiyati. Arti Penting Upacara Tradisional.
http:/wisatadanbudaya.blogspot. com. Diunduh 2 April 2011.
I Nengah Duija. 2000. Ekspresi Seni Masyarakat Tradisional Desa
Adat
Penglipuran Bangli Sebagai Sarana Pemujaan Kepada Tuhan (Kajian
Bentuk, Fungsi, dan Makna) Tesis . Bali : Universitas Udayana.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi.Rineka Cipta.
Kundharu Saddhono. 2009. LenggerBanyumasan Kontinuitas dan Perubahannya,
Tesis
S2. Yogyakarta: UGM. Kusmayati. 2000. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat
Seni Pertunjukan.
Mills
and Huberman. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Muji
Purnomo. 2010. Mempertahankan Upacara Tradisi Meron sebagai Jati Diri dan
Budaya Masyarakat. http:// wartasiswa. Manu.ac.id diunduh 30 Januari 2011
Purwadi.
2005. Upacara Tradisional Jawa Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Soekmono.
1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru Jakarta: Rajawali Eka Press.
Sutopo.
2006. Pendekatan Penelitian Kualitatif. Solo : UNS
Swidarto.
2005. Tradisi Meron Di Desa Sukolilo Pati. (Sejarah dan Makna Filosofisnya),
Kudus : Sultan Com.
Langganan:
Postingan (Atom)