Jumat, 09 Desember 2016

ukhuwah



NAMA             : MUH KHAKKUL ULYA
NIM                 : 1530110095
Mata Kuliah    : Sosiologi Tafsir
JURUSAN       : USHULUDDIN (IQT/3C)    

UKHUWAH
A.    Pendahuluan
Islam sebagai agama Allah datang guna mengatur manusia sebagai seorang hamba dan sebagai kelompok sosial. Karena itulah tuntunan al-Qurân tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja (hablum min Allah) akan tetapi al-Qurân juga mengatur hubungan manusia dengan manusia (hablum mina an-annas) yang sedikit banyak telah mengatur hubugan dan perilaku dengan sesama makhluk tuhan seperti hubungan dengan saudara, tetangga yang muslim ataupun yang bukan muslim dan perilaku manusia sebagai khalifah di bumi.
Salah satu aturan Islam dalam al-Qur’an yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia adalah konsep ukhuwah atau persaudaraan. Begitu pentingnya ini sehingga kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal sendiri termaktub dalam al-Qur’an sebanyak 52 kali. Menurut Ibnu Khaldun sendiri, sebuah organisasi  kemasyarakatan merupakan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadiakan manusia sebagai khalifah-Nya dimuka bumi ini untuk memakmurkannya.
Di dalam al-Qur’an, manusia diberi mandat oleh Allah untuk menjadi khalifah di bumi, yang pada umummya sebagai khalifah memiliki karakter kuat gagah, hebat, dan juga kesatria. Akan tetapi dinyatakan juga di dalam al-Qur’an bahwa manusia adalah makhluk yang lemah (wa khuliqol insanu dzo’ifa), oleh karenanya untuk menutupi sifat dza’if itu, manusia di rasa perlu dan bahkan harus membentuk persaudaraan yang mana dapat memikul bersama tugas manusia sebagai khalifah.



B.     Pembahasan
Ukhuwah biasa di artikan sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar kata yang mulanya berarti “memperhatikan”. Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.
Masyarakat muslim mengenal istilah ukhuwah islamiyah. Istilah ini perlu didudukan maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata islamiah dalam istilah diatas. Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama Muslim”, atau dengan kata lain, “persaudaraan antar sesama Muslim”, sehingga dengan demikian, kata “Islamiah” dijadikan pelaku ukhuwah itu.
Pemahaman ini kurang tepat. Kata islamiah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa, sehingga ukhuwah islamiah berarti “persaudaraan yang bersifat islami atau yang diajarkan oleh islam”.[1] Di sini saya akan menjelaskan hubungan surat  al- Hujurat ayat: 10 dengan teori yang saya ambil yaitu, teorinya Ibnu Khaldun yang ashabiyyah yang artinya:
 “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah (bagaikan) bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudara kamu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu dapat rahmat.”
Kata (إنّما) innama digunakan untuk membatasi sesuatu. Di sini, kaum beriman dibatasi hakikat hubungan mereka dengan persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan hubungan antar mereka kecuali persaudaraan itu, kata innama bisa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang telah diterima sebagai suatu hal yang demikian itu adanya dan telah diketahui oleh semua pihak secara baik. Penggunaan kata innama dalam konteks penjelasan tentang persaudaraan antara sesama mukmin ini mengisyaratkan bahwa kaum beriman bersaudara sehingga semestinya tidak terjadi daripihak mana pun hal-hal yang mengganggu persaudaraan itu.
Kata (أخ) akh yang berbentuk tunggal itu biasa juga dijamak dengan kata  (إخوان) ikhwan. Bentuk jamak ini biasanya menunjuk kepada persaudaraan yang tidak sekandung. Berbeda dengan kata  (إخوة) ikhwah yang hanya terulang tujuh kali dalam al-Qur’an, kesemuanya digunakan untuk menunjuk persaudaraan keturunan, kecuali ayat al-Hujurat di atas. Hal ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama muslim adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan iman dan kali kedua ini bukan dalam pengertian hakiki. Dengan demkian, tidak ada alasan untuk merumuskan hubungan persaudaraan sebangsa, secita-cita, sebahasa, senasib, dan sepenanggung.
Thabathaba’i menulis bahwa hendaknya kita menyadari bahwa firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin bersaudara” merupakan ketetapan syariat berkaitan dengan persaudaraan antara orang-orang mukmin dan yang mengakibatkan dampak keagamaan serta hak-hak yang ditetapkan agama.[2]
Innamal mu’minuna ikhwatun, maksudnya semua mukmin di pertemukan pada pokok yang sama yaitu keimanan, yang mana akan mengantarkan kepada sa’adah abadiyah, bahkan persaudaraan atas nama agama di jadikan sama seperti halnya persaudaraan nasab, seakan-akan islam adalah sesosok ayah bagi mereka (umat islam).[3]
Lalu bagaimana jika terjadi permusuhan atau bahkan terjadi peperangan antara sesama muslim?, hal ini secara langsung di jawab pada lanjutan ayat “fa ashlihu baina akhawaikum” maka damaikan antara kedua saudara kamu. Maksudnya berusaha dalam mendamaikan dua orang muslim yang bermusuhan adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim lain bila mana ia mampu melakukannya, yang bila di tinggalkan adalah dosa serta menciderai nilai-nilai kemanusiaan.[4]
Sebagaimana Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqoddimat, sebuah organisasi  kemasyarakatan merupakan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadiakan manusia sebagai khalifah-Nya dimuka bumi ini untuk memakmurkannya, Oleh karena itu para filusuf dan sosiolog berpendapat bahwa manusia menurut tabiatnya adalah makhluk sosial atau makhluk politik yang suka berkumpul dan bekerja sama yang  memerlukan pengorganisasian.[5]
Ibnu Khaldun sendiri menganggap ashabiyah sebagai suatu kekuatan dan pengaruh didasarkan atas kesamaan. Kesamaan itu tidak hanya kesamaan yang didasarkan atas ikatan darah, tetapi juga didasarkan atas pengetahuan yang lebih luas tentang persaudaraan yang mana memunculkan perasaan cinta terhadap saudara dan kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak kekerasan. Semakin dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka, maka ikatan-ikatan dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya, semakin renggang hubungan tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin melemah.
Ashabiyah akan muncul dan berkembang ketika perasaan untuk melindugi diri serta membangkitkan sense of Kindship (rasa kekeluargaan) yang kuat dan mendorong manusia untuk menciptakan hubungan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini adalah kekuatan vital bagi suatu negara di mana dengannya mereka akan tumbuh dan berkembang dan melemah, maka mereka akan mengalami kemunduran. Ibnu Khaldun  juga mengembangkan suatu solidaritas yang tanpa agama negara tidak akan bisa eksis. Agama merupakan pendukung ashabiyah dan pada dasarnya juga memperkuat ashabiyah, dengan kekuatan religius ini bangsa arab dapat membangun suatu peradaban yang besar.
Dalam  hubungan  ashabiyah  dan  agama,  menurut  Khaldun  terdapat dampak timbal  balik  diantara  keduanya.  Lebih  lanjut,  Khaldun  berupaya  untuk mengkompromikan  antara  prinsip  ashabiyah  dan  prinsip  Islam.  Menurutnya, ashabiyah yang dilarang adalah ashabiyah yang berkembang pada zaman jahiliyah yang timbul  dari  kesombongan  dan  keinginan  untuk  bergabung  pada  suku-suku yang  terkuat  dan  terhormat.  Sedangkan  ashabiyah  yang  didasarkan  atas  faktor-faktor keagamaan dan faktor duniawi yang legal, maka diperbolehkan.[6]
Sebagaimana pula ibnu Khaldun dalam bukunya Muqoddimat mengatakan “sebuah organisasi  kemasyarakatan merupakan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini untuk memakmurkannya”. Maqolah Ibnu Khaldun ini juga akan singkron dengan penafsiran dari Quraish Shihab bahwa kata (إنّما) innama dalam ayat yang telah disebutkan di awal, bahwa kalimat innama memiliki fungsi hasr yang digunakan untuk membatasi sesuatu. maksudnya kaum beriman dibatasi hakikat hubungan mereka dengan persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan hubungan antar mereka kecuali persaudaraan itu.
C.    Penutup
Masyarakat muslim mengenal istilah ukhuwah islamiyah. Istilah ini perlu didudukan maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata islamiah dalam istilah diatas. Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama Muslim”, atau dengan kata lain, “persaudaraan antar sesama Muslim”, sehingga dengan demikian, kata “Islamiah” dijadikan pelaku ukhuwah itu.
Sedangkan Ibnu Khaldun sendiri menganggap ashabiyah sebagai suatu kekuatan dan pengaruh didasarkan atas kesamaan. Kesamaan itu tidak hanya kesamaan yang didasarkan atas ikatan darah, tetapi juga didasarkan atas pengetahuan yang lebih luas tentang persaudaraan yang mana memunculkan perasaan cinta terhadap saudara dan kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak kekerasan. Semakin dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka, maka ikatan-ikatan dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya, semakin renggang hubungan tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin melemah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullatif, Muhamad.Audzotuttafasir. Juz 1.Maktabah Syamilah.
Al-Khudori, Zainal. 1995. Perkembangan Pemikiran Filsafat Sejarah Ibn Khaldun.Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-Maraghi, Ahmad. Tafsir Al Maraghi. Maktabah Syamilah.
Ba’ali, Fuad. 1989,  Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Shihab, M. Quarish. 1996. Wawasan Al-Qur’an:Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan Anggota IKAPI.
Suyuthi, J. 1994. Prinsip-Prinsip Pemerintah dalam Piagam madinah ditinjau dari Pandangan al-Qur’an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.



[1]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm. 486-487.
[2] Ibid, hlm. 496-498.
[3]Ahmad bin Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al Maraghi, Maktabah Syamilah.
[4]Muhamad Abdullatif  bin Khatib, Audzotuttafasir,  Maktabah syamilah, juz 1, hlm. 634.
[6]FuadBa’ali, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam,  (Jakarta: Pustaka Firdaus,1989), hlm. 114.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar